Selasa, 14 September 2010

Senja Terakhir

"Ini senjamu yang keberapa?", tanyaNya padaku.
"Ini senjaku yang ketujuh bersamamu", jawabku ringan.
Kami berdua sedang menatap langit, mengharapakan sebuah meteor jatuh menghujam bumi.
"Ini malammu yang keberapa?", tanyaNya lagi padaku.
"Ini malamku yang kedelapan bersamamu", bisikku dalam diamnya.

Senja itu aku sendiri. Mengenang hari-hariku yang lalu. Saat itu aku sudah membulatkan tekad untuk mengakhiri semua. Semua tentangku telah kuhapus dari muka bumi ini. Semua yang ada padaku telah aku musnahkan, dan abunya telah aku bawa terbang bersama angin. Aku ingin sendiri menghadapi saat-saat terakhirku. Aku tak ingin kepergianku diiringi isak tangis putus asa, atau teriakan-teriakan histeris, atau bahkan hujatan-hujatan yang menghujam. Aku bahagia. Yah, iniah puncak kebahagiaanku. Saat aku mampu menentukan saat-saat terakhirku. Senja terus bergulir. Cairan itu telah masuk kekerongkonganku. Aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Aku mati rasa. Aku terbang. Perlahan namun pasti aku lalui lorong-lorong sunyi di depanku. Sepi, rasa yang aku sayangi. Cahaya temaram yang mengiringi perjalananku semakin memburatkan terangnya. Terang yang tidak menyilaukan. Hangat. Damai. Di ujung lorong cahaya, kutemukan Dirinya, tersenyum, berselubung cahaya, mengulurkan tanganNya padaku. Menyambutku dan menuntunku mengikuti jalanNya.
Malam itu aku merasa tak sendiri lagi. Ada seseorang yang kini berjalan bersamaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar