Sabtu, 16 Maret 2013

Renungan Bisu

Tak adalah fungsinya lagi terus bicara sampai kita terlupa konsep hingga terlupa segala.

Mari duduk termenung bersama saya di sini barang sejenak.

Merenggangkan tubuh, saraf, otot, dan otak.

Untuk kemudian mengobrol kembali.

Sebentar, saya ambil otak saya dulu.

Semalam saya mencucinya, dan lupa mengambilnya dari mesin pengering.    

Obrolan Malam

"Apa aku yang salah?", tanyanya padaku.
"Tidak ada yang salah dan yang benar", jawabku.
"Apa salahanku?!", tuntutnya padaku.
"Tidak ada", jawabku lagi.
"Lalu mengapa dia melakukan ini padaku?", isaknya perlahan.

Bus antar kota melaju kencang, meraung, mengisi jalanan ibukota—yang anehnya—malam itu tampak lengang. Semoga perjalanan kami, Depok-Kalideres, dapat berjalan lancar.

Kami berdua terdiam, terbius dengan pikiran kami masing-masing.

Malam makin kelam.

"Langitnya gelap sekali ya, Dum", ujarku perlahan sambil menatap langit malam dari balik jendela bus kota.
"Yah, Langit sedang muram. Ia tahu ibunya merindukannya", balasnya.

Aku terdiam. Putra Langit. Putra tunggal sahabatku, Duma, terpisah paksa dari sang bunda, dalam keadaan belum disapih.

Duma sahabatku memandang langit kelam dari balik jendela bus kota. Perlahan air mata mengalir mengisi kebisuannya.

***

Empat hari yang lalu, aku masih bermain dengan Langit bersama Duma dan keluarganya. Aku, Duma, orang tua, dan adik-adik Duma tertawa bersama melihat polah tingkah Langit yang lucu. Abah sibuk mereparasi mesin ukirku, terkadang Abah turut tertawa saat melihat kegiatan kami. Langit tersenyum, mengoceh, tertawa. Ocehan Langit memenuhi senja kami. Ketika senja beranjak malam, dan Abah sudah selesai mereparasi alat ukirku, Langit mulai rewel, saatnya Langit menyusu, dan aku pun pulang.

Lusa lalu, aku masih melihat Duma dipangkas rambutnya oleh Abah, suaminya. Abah, panggilan suami Duma, nampak telaten dan serius merapikan rambut istrinya, sedangkan Duma sibuk bercerita hingga mereka tidak menyadari kehadiranku. Langit terlelap tenang dalam buaian. Aku urungkan niatku untuk sekedar menyapa, takut mengganggu keintiman itu. Aku hanya sekedar menyapa ibunda Duma yang sedang menyapu pelataran rumah dan menolak halus keramahannya untuk masuk berkunjung.

Dan malam ini, aku menghampiri Duma, berusaha untuk menenangkannya dari kesedihan yang menyayat. Langit dan Abah tidak pulang. Lenteng Agung-Blok M hanyalah berapa kilometer, tak harus menempuh jarak ribuan kilometer. Tak ada hujan, tak ada angin, Abah tidak membawa Langit pulang ke rumah. Abah membawa Langit pergi tanpa kabar berita.

Kemarin pagi, Abah hanya mengatakan akan membawa Langit pergi ke ulang tahun temannya dibilangan Blok M saat Duma sibuk berbenah, menyiapkan kebutuhannya, untuk segera berangkat bekerja. Selintas lalu Duma hanya memberi jawaban "Iya". Duma tidak menyadari "Iya" itu adalah saat terakhirnya melihat Langit-nya.

Sudah lebih dari 24 jam seluruh keluarga, kerabat, dan handai taulan membantu mencari Langit dan Abah. Nihil. Mereka berdua menghilang tanpa jejak, seperti ditelan bumi.

Duma hanya duduk diam terpaku, membisu. Aku hanya mampu menatapnya dalam kebisuan.

Tak tahan dengan kebisuan yang mencekam, segera aku ajak Duma untuk pergi dari rumahnya. Aku hanya merasa Duma membutuhkan sedikit jarak dan ruang dari kehilangan. Kehilangan sering membawa depresi berkepanjangan, dan aku tidak mau hal itu terjadi padanya.

Aku ajak Duma menginap ke rumahku barang sehari-dua hari, sekedar untuk menepi ke ruang sunyi. Rumahku menyediakan ruang kosong untuk merenung. Terkadang manusia hanya butuh sedikit menepi, untuk melihat keadaan secara kalis, dan kemudian masuk kembali dengan pikiran yang lebih terbuka. Aku merasa itu yang Duma butuhkan.  

Saat ini, semua orang menghujat Abah. Sumpah serapah mengalir deras lewat mulut-mulut di sekitar Duma. Kesunyian. Duma butuh sedikit kesunyian. Ruang untuk berpikir.

***

"Abah jahat ya, Ra", perlahan Duma berbisik.

Kami sudah tiba 3 jam yang lalu di rumahku. Malam makin larut, dan mata kami masih nyalang menatap malam. Sudah lewat tengah malam.

"Saat ini ya, tapi mungkin ini jalan yang satu-satunya Abah anggap paling mungkin", jawabku.
"Kamu masih bisa ya, membela Abah", jawab Duma nyinyir.
"Ya... aku hanya berusaga bersikap netral", jawabku.
"Jadi sebenarnya kamu itu teman Abah atau aku?", tegas Duma.
"Aku teman kalian bertiga. Aku temanmu, teman Abah, teman Langit juga", ujarku tenang.
"Kenapa kamu masih bisa membela Abah disaat seperti ini?", Duma terlihat gusar.
"Aku hanya berusaha menempatkan diriku sebagai Abah..."
"Dan kamu mulai mengacuhkanku?!"
"Bukan itu maksudku, Dum"
"Lalu apa maksudmu hah?! Menjauhkan aku dari apa hah?! Omong kosong macam apa ini? Jawab!"
"Aku hanya merasa kamu membutuhkan sedikit ruang untuk berpikir"
"Kamu pikir aku tidak berpikir?! Lebih baik aku pulang! Aku memang pantas dicampakkan! Puas?!"
"Tunggu dulu, Dum, sabar.... Jangan biarkan amarah menguasaimu"
"Kamu gila"
"Terkadang manusia harus menjadi gila untuk bisa melihat secara jernih"
"Yah! Kamu memang sudah gila! Nikmati kegilaanmu sendiri. Tidak usah repot-repot membawaku serta"
"Sabar, Dum, sabar.... Kamu tahu mengapa aku mengajakmu kemari? Rumahmu terlalu pikuk. Semua mengecam Abah. Itu tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada hanya akan memperkeruh keadaan. Itu tidak sehat untuk pikiranmu, untuk jiwamu"
"Apa kau pikir aku di sini bisa mendapatkan yang lebih baik dari itu, saat mengetahui temanku dari kecil berkoalisi bersama penculik anakku?!", Duma berteriak histeris dalam tangisnya.

Duma menangis. Aku merasa bodoh telah menekannya. Berdiskusi, atau hanya sekedar mengobrol, dengan orang yang masih "panas" bukanlah hal yang tepat dilakukan saat ini.
Seharusnya aku tahu itu dan tidak sibuk berfilosofi.
"Ah, bodohnya aku!", umpatku dalam hati.

Kekakuan yang mencekam.

"Maafkan aku, Dum. Aku rebuskan air untukmu mandi. Segarkan tubuhmu sedikit", ujarku.

Duma mengangguk lemah, masih terisak-isak sisa tangisnya.

***

Selama menunggu Duma mandi, aku buatkan dia minuman hangat. Susu yang direbus dengan rempah-rempah seperti jahe, serai, cengkeh, kapulaga, dan daun pandan serta sedikit gula—jika sudah siap dihidangkan biasanya diberi sedikit bubuk kayu manis di atasnya, biasanya orang Asia Timur dan Asia Tengah mencampurnya dengan teh—menurut sebagian orang mampu menghangatkan tubuh dan menjadi minuman penghantar tidur yang baik.

Sesudah Duma selesai mandi dan aku menyodorkan minuman hangat yang sudah aku buatkan untuknya, aku menyeret tubuhku yang semakin berat ke dalam relung hangatnya kasurku.

***

Entah aku tidur berapa jam, seingatku, sesaat sesudah aku menyeret tubuhku dalam kehangatan kasur, aku jatuh tertidur pulas. Terik matahari yang dengan cueknya menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela di kamarku menembus hingga ke mataku yang tertutup, memaksaku untuk lekas beranjak.

Aku lihat Duma sudah duduk tenang dengan sepiring nasi goreng kegemaranku buatan Mbok Ipih dan hot chocolate di hadapannya. Ia terlihat segar sehabis mandi atau... sesudah tidur?

Secara perlahan dan tiba-tiba, monolog singkat Abuy—tokoh orang gila sekaligus narator dalam naskah teater "Bom Waktu" karya Nano Riantiarno (1982)—terngiang di telingaku. "Tidur. Tidur bukanlah tidur. Tidur hanyalah sebatas usaha menunda beban". Ya. Tidur hanyalah sekedar menunda beban, meredakan amarah yang berkecamuk dalam pikiran yang kusut.

"Mandi dulu sana, baru makan. Aku di sini baru semalam saja sudah mandi dua kali, kamu belum mandi sama sekali dari semalam", usirnya saat aku hampir menyabotase sendoknya demi sesuap nasi goreng yang tampak begitu menggoda.
"Jam berapa sekarang?", tanyaku.
"Sudah jam 1 siang dan belum ada kabar Langit dari rumah. Langit masih belum jelas keadaannya. Ayah dan abang sudah lapor polisi semalam", ujar Duma sambil menjelaskan kabar terbaru hari ini tentang kabar keberadaan Langit dan Abah.
"Oh, ok", jawabku singkat.

Bergegas aku ke kamar mandi, aku tidak rela kehilangan moment indah bersama nasi goreng masterpiece Mbok Ipih, ya... walaupun aku tahu Duma tidak akan menghabiskannya. Melihat cara makannya saja, aku sudah tidak sabar ingin menyabotase piringnya.

***

"Mungkin kamu benar, aku yang salah", ujar Duma sesaat setela aku menyuapkan nasi goreng terakhirku.
"Hmmm... Ugh... Mmmm...", bergegas aku mengunyah dan menelan nasi goreng yang sudah memenuhi rongga mulutku.

Aku terdiam sejenak setelah menandaskan teh hangat maduku yang sudah dingin.

"Tidak ada yang salah atau benar, Dum", ujarku. "Mungkin Abah hanya butuh ruang dan waktu. Sedikit ruang dan waktu untuk berpikir ditengah hiruk-pikuk rumah tangga kalian. Tidak hanya rumah tanggamu, tapi juga keluargamu, tempat kalian berlindung selama ini".
"Tapi mengapa membawa Langit? Mengapa tidak membawaku serta?", ujarnya.
"Karena dia begitu mencintaimu"
"Ha?! Maksudmu?", tanya Duma tampak terkejut. "Abah tidak mencintaiku lagi, Ra. Dia hanya mencintai Langit, darah dagingnya, sedangkan aku bukan siapa-siapanya".

Nada suara Duma terdengar sedikit meninggi.

"Abah mencintaimu, Dum. Kamu ibu kandung Langit, tidak mungkinlah Abah tidak menganggapmu. Langit lahir dari rahimmu. Kalian berdua mencintai Langit melebihi apapun. Kalian berdua pun saling mencintai melebihi apapun", ujarku.
"Aku bingung"
"Duma, Abah saat ini mungkin butuh ruang dan waktu untuk memikirkan sejenak langkah selanjutnya yang akan ditempuh oleh rumah tangga kalian. Dia tetap merasa bertanggung jawab sebagai kepala keluarga dalam membawa arah masa depan biduk rumah tangga kalian, walaupun sudah 1 tahun lebih Abah tidak bekerja, dan secara langsung, mau tidak mau, kamu menjadi pencari nafkah utama keluarga kalian. Disaat yang sama, Langit pun membutuhkanmu. Mungkin Abah berpikir, jika dia tidak membawa Langit besertanya, kamu akan dengan mudah melupakannya. Toh, masih ada Langit. Abah sangat mencintaimu hingga dia merasa harus meninggalkanmu barang sejenak. Mungkin juga... Abah sudah terlalu lelah dibandingkan", ujarku berusaha menjelaskan segala kemungkinan yang melandasi kepergian Abah dengan membawa Langit.
"Jadi, sekarang kamu menyalahkan aku lagi?", tanya Duma.
"Tidak. Aku tahu kamu tidak akan pernah menyakiti Abah secara sengaja. Abah tersakiti oleh pemikirannya sendiri. Dia terlalu takut untuk kehilanganmu"
"Lelaki pengecut"
"Abah hanya terlalu mencintaimu hingga tidak sadar perbuatannya telah menyakitimu"
"Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan membawa Langit pergi jauh dariku"
"Dia mencintaimu, dia juga tersakiti, dia juga tersiksa, Dum. Sama sepertimu"

Duma terdiam, terhenyak. Matanya nanar menatapku. Kesunyian mengambang di antara kami.

"Mencintai secara terlalu dan berlebihan itu tidaklah baik. Segala sesuatu yang terlalu hanya menimbulkan penyesalan yang mendalam", ujarku perlahan dalam kesunyian.
"Kejujuran itu penting, terutama dalam kehidupan berumahtangga, namun ada kalanya kejujuran yang tidak pada tempatnya terasa lebih menyakitkan", lanjutku sambil memeluk Duma yang perlahan meneteskan air matanya lagi.


Teruntuk sahabatku Humaira dan putranya, Akar Langit.
Aster, 16 Maret 2013


Rabu, 13 Maret 2013

Obrolan Kloset


Hari ini aku bertemu lagi dengannya, dan seperti biasa, kami hanya saling bertatapan sejenak untuk kemudian saling melemparkan senyum ke cermin di depan kami.

Aku selalu bertemu dengannya setiap hari kerja di toilet yang sama, di waktu-waktu tertentu, yaitu pkl. 07.15, pkl. 11.45, dan pkl. 16.00, di toilet wanita lantai 3 tepatnya. Setiap hari, sebelum aku mulai tenggelam dalam rutinitas pekerjaanku, aku akan memasuki toilet tepat pkl. 07.15, 15 menit sebelum jam kantor dimulai. Di dalam toilet pertama kali yang aku lakukan adalah membuka kloset, menumpahkan segala kekesalanku, segala emosiku dalam derasnya guyuran shower dan kloset untuk kemudian menutup klosetnya, menghapus air mataku dengan tissu, dan keluar dengan tersenyum. Kemudian aku akan menatap cermin, memoleskan bedak, merapikan alis mata, menggunakan eye-shadow, menjepit bulu mataku dan memulasnya dengan eye-linier, kemudian mengusapkan sedikit blush-on di daerah T wajahku, dan terakhir, hal yang paling aku suka diakhir rutinitas pagiku, mengusapkan lipstik merah darah di bibirku. Aku tersenyum cerah. Topengku untuk 9 jam kedepan telah siap.

Kadang gue bosen, tapi juga kangen kalo gak liat dia di toilet ini. Beberapa kali tanpa kehadirannya, gue ngerasa dia sudah bunuh diri, untuk kemudian terkaget-kaget—tapi juga lega—ngeliat dia kembali lagi di toilet ini. Gue gak pernah secara sengaja datang bersamaan dengan dia di toilet ini. Faktor kesehatan dan faktor kenyamanan saja yang mempertemukan kami—yang awalnya secara tidak sengaja menjadi kebiasaan—di toilet ini. Gue harus “panggilan alam” antara pkl 07.00-08.00. Jam biologis gue harus diubah total sejak gue sakit parah 6 bulan yang lalu. “Ritual penting” harus dilakukan pkl. 07.00-09.00 karena saat itulah usus besar bekerja maksimal. Pkl. 11.45, sebelum keluar untuk makan siang, gue harus buang air kecil lagi, sebagai penanda ginjal ataupun salurannya benar, ada kista di ginjal gue yang terus membesar dan itu membuat gue disiplin dalam hal minum dan buang air kecil. Manusia membutuhkan minimal 3 liter air setiap hari dan itu pun harus dikeluarkan secara berkala agar tidak terjadi infeksi, gue terlambat mencegahnya infeksi di saluran kencing gue. Begitu pula pkl. 16.00, setengah jam sebelum jam pulang berdentang, gue akan “panggilan alam” lagi. Sehat ya hidup gue, sekarang.

Aku senang menggunakan toilet lantai 3. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah kehadirannya. Dia sudah aku anggap sebagai sahabatku, sahabat yang mendengar segala keluh kesahku tanpa sedikit pun berkomentar ataupun menatapku dengan pandangan “aku-adalah-mahkluk-paling-mengenaskan-di-bumi”. Ada senangnya juga mempunyai sahabat yang tidak saling mengenal seperti ini. Kemudian karena posisiku di unit lantai 5, tak ada salahnya jika aku sedikit berolah raga demi mendapatkan privasi. Walaupun toilet lantai 3 terkenal paling banyak penggunanya, entah mengapa disaat-saat kunjunganku kesana selalu saja sepi. Itu hal yang menyenangkan bagiku yang membutuhkan sedikit privasi. Yah, pada intinya aku merasa nyaman di toilet lantai 3.

Gue pilih toilet lantai 3 karena dua faktor. Yang pertama karena dekat dengan unit gue, jadi gue gak usah repot naik-turun lift atau ngesot kalo lift—yang memang sangat sering rusak itu—mati dan gue harus naik-turun menggunakan tangga darurat. Yang kedua gue ngerasa toilet lantai 3 paling bersih di antara toilet-toilet yang lain. Secara paling banyak penggunanya, jadi paling sering dibersihkan. Oh ya, pesen nyokap, kloset duduk harus dibuka setelah digunakan. Biar kumannya kagak numpuk trus kena ke pengguna berikutnya, namanya juga kloset bersama. Gue ikut aja pesen nyokap, dari pada tar dikutuk jadi kodok. Ah ya, gue baru ingat, seharusnya tiga faktor. Faktor ketiga adalah kebutuhan gue buat lihat dia masih memiliki sedikit semangat hidup dan sedikit tersenyum menyemangatinya.

Pertama kali aku bertatapan dengannya di cermin, aku tahu dia bisa menjadi sahabatku. Tanpa berkata apapun—alih-alih melemparkan tatapan “aku-adalah-mahkluk-paling-menyedihkan-di-bumi—dia hanya tersenyum. Entah mengapa pertama kali melihat senyumnya itu, sedikit demi sedikit semangat untuk hidupku bangkit kembali.

Pertama kali gue ngeliat dia, gue bingung harus gimana bersikap. Gue secara gak sengaja denger obrolannya di telpon, di dalam toilet, bersama suaminya, dan secara tidak sengaja pula kami keluar bersamaan. Gue hanya bisa tersenyum padanya lewat cermin di depan kami yang mempertemukan tatapan kami. Gue gak kepikiran apa yang mesti gue lakukan diposisi ini. Senyum gue refleks.

“Mas, tolong jangan telpon kalo pas jam kantor ya…”
“Ya ampun, mas, aku itu di sini beneran kerja”
“Tadi lagi sibuk banget, mas.”
“Besok kan hari rabu, deadline ketat, aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan dan target sekaligus”
“Nggak mungkin dong, Mas”
“Ya ampun, Mas… Aku harus gimana lagi biar Mas bisa percaya sama aku”
Aku tidak tahan lagi untuk menangis, setiap hari, diwaktu dan tempat yang sama, aku didera kecurigaan yang sama.
“Aku beneran kerja, Mas”
“Aku beneran kerja sesuai jadwal yang semalam aku berikan ke Mas”
“Iya”
“Iya”
“Iya”
“Iya”
“Mas juga ya…”
“Ya, sampai ketemu sore nanti”
*klik

Nah, dialog via telpon ini yang gue denger setiap hari, pkl. 11.45, tepat sebelum jam makan siang. Gue gak pernah mau tahu dan ataupun penasaran dengan permasalahan mereka. Suaranya seperti alunan musik yang sudah sering gue dengar sehingga ketika tidak mendengarnya, gue akan merasa kehilangan.

Aku baru bisa menghubungi suamiku disaat toilet hanya ada kami berdua, di bilik kami masing-masing, dengan keheningan yang suram.

“Eh, hey, ini siapa?”
“Oh… ya… ya… Yang semalam? Yang mana ya?”
“Hah? Yang semalem tidur ama gue? Emang lu siapa?”
“Oh… ya… Sorry, sorry, gue suka lupa nama. Hehehe… Maaf ya… Permainan lu asik kok semalem”
“Ya… gitu aja marah, udah kayak emak-emak keilangan kutang ah. Gak seru”
“Lah, elunya yang mulai duluan”
“Tar malem? Gue udah ada janji”
“Gue gak pernah selingkuh. Siapa juga nganggep elu pacar gue. Ke-Ge Er-an aja elunya”
“Udah ah, elu ngeganggu konsentrasi gue aja”
“Kagak, gue kagak lagi meeting penting. Ada yang lebih penting dari itu”
“Panggilan alam”
*klik

Entah pria mana lagi yang dikecewakannya, aku tidak mau tahu. Dia tidak pernah keluar toilet dengan wajah sedih atau kecewa. Wajahnya selalu tenang, terlalu tenang. Terkadang ada senyum kecil mengambang di wajahnya. Wajah yang mendamaikan sekaligus menjadi penyemangatku.

Hidup gue baru benar-benar teratur 6 bulan terakhir, setelah berbagai vonis dokter, akhirnya menyadarkan kualitas hidup gue yang acakadut. Gue sedang menata hidup gue lagi, tapi sulit. Gue ngerasa sendiri. Gak ada yang memantau hidup gue. Gue terlalu bebas.

“Iya, mas”
“Ini aku lagi di toilet, kencing”
“Iya… habis ini aku minum yang banyak”
“Sudah, aku baru saja selesai makan siang”
“Sendiri”
“Benar, mas”
“Aku makan bekalku sendiri, di kubikelku”
“Tidak ada siapa-siapa”
“Iya, mas… aku makan siang tepat jam 12”
“Sendiri”
“Semua orang seruangan pergi keluar makan siang”
“OB kan juga makan siang. Tidak ada siapa-siapa”
“Bener”
“Aku cuci wadah makanku sendiri. Bukan OB”
“Bener, mas”
“Aduh, mas… beneran aku makan sendiri. Jelas tidak ada saksi. Kan aku sendirian…”
*klik

Nah, kalo yang itu tadi obrolan rutin sebelum pulang, tepatnya obrolan pkl. 16.00. Cukup lumayan panjang, karena akan berakhir di pkl. 16.20, dia hanya punya sisa waktu 10 menit sebelum waktu pulang. Biasanya 10 menit akan digunakan untuk menghapus semua sisa riasan wajahnya perlahan-lahan, seakan dia tidak rela melepaskan topengnya.

Saatnya aku harus kembali kekehidupanku. Kehidupan yang membosankan. Kehidupan yang mencekik. Kehidupan yang bukan milikku sepenuhnya.

“Gue malam ini sibuk”
“Gue lagi males kemana-mana”
“Gue mau tidur aja sambil nonton tivi”
“Hey, terserah gue dong, waktu, waktu gue”
“I need my time ajah”
“See you on another time”
*klik

Kehidupannya begitu bebas. Dia begitu nyaman dengan dirinya.

Hidupnya terisi oleh lelaki yang benar-benar mencintainya, menyanyanginya.

Kehidupannya begitu menyenangkan. Bebas seperti angin.

Hidupnya teratur dengan baik, dengan seseorang yang selalu ada di sampingnya, mengingatkannya.

Kehidupan sepertinya yang aku inginkan saat ini.

Andaikan gue punya seseorang yang benar-benar mencintai gue, perhatian ke gue, seperti suaminya...




Pengembangan dari naskah film pendek, berjudul sama, yang belum jadi diproduksi.
Aster, 13 Maret 2013