Sabtu, 19 Desember 2015

Inwangsan, Percarian Seorang Soliter

Awal November 2015. Udara di Seoul mulai mendingin, penanda musim gugur sudah tiba. Hari itu, selasa, 3 november 2015, saya memutuskan untuk pergi sendiri. Memisahkan diri dari Maria dan Catty yang sudah memiliki rencana sendiri. Sejak awal keberangkatan saya sudah berencana untuk mengunjungi Museum Nasional Korea Selatan dan  mendaki Gunung Inwangsan.

Tepat pkl. 08.00 waktu Korea Selatan, saya berangkat ke stasiun Jongno 3 (sam-ga) menuju stasiun Dongnimmun. 

Burangrang Ku Sayang


... ketika segalanya telah terlambat, ketika janji telah terucap, Dayang Sumbi segera mencari akal. Ia tak mungkin menikahi anaknya sendiri. Dibuatnya prasyarat yang sungguh tak masuk akal. Namun cinta telah membutakan segala, Sangkuriang menyanggupi prasyarat Dayang Sumbi. Dibuatnya perahu sesuai permintaan sang kekasih. Dayang Sumbi memeras otak, dicarinya akal lain agar gagallah segala usaha Sangkuriang. Dipukullah lesung dalam alu guna memanggil fajar. Ayam jago berkokok membangunkan Sang Surya. Gagallah segala upaya Sangkuriang. Maka, ditendangnyalah perahu yang sudah hampir jadi itu dan ditinggalkannya batang-batang pohon yang akan digunakannya untuk membuat perahu. Perahu yang terbalik itu menjadi Gunung Tangkuban Perahu, sedangkan tumpukan batang-batang pohon bakal perahu dipercaya menjadi Gunung Burangrang. 
(dari Legenda Sangkuriang oleh Masyarakat Sunda).

***

Setelah sebelumnya berencana untuk naik ke Gunung Gede dan akhirnya batal karena berbagai hal, saya memutuskan untuk ikut bergabung dengan Enny, teman saya di kelas menulis Salihara yang juga senang naik gunung. Kami putuskan untuk berangkat berempat, saya, Enny, Meki (Paulus Sumoaji Wibowo), dan Gembox (Ignasius Wisnu Dwi Cahyo). Kami putuskan berangkat sabtu dini hari dengan malam sebelumnya menginap di rumah Gembox, di daerah Cibinong. 
Jumat malam, 20 November 2015, kami bertiga janji temu di stasiun Tebet untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke stasiun Bojong Gede. Waktu sudah menunjukkan tengah malam saat kami sampai di rumah Gembox. Setelah beberes dan ngobrol ngalor-ngidul, kami akhirnya beristirahat. Tepat pkl. 05.00 WIB kami berangkat menuju Bandung Barat, letak Gunung Burangrang berada.

Sebelum menapak Gunung Burangrang, saya mencari informasi dan kajian literasi untuk mengenal lebih dekat gunung yang akan saya pijak nantinya. Rujukan tentang sisa Gunung Sunda Purba saya ambil dari hasil penelitian van Bemmelen (1949). Gunung Burangrang dan sekitar Situ Lembang ditengarai sebagai kerucut sampingan dari Gunung Sunda Purba. Sisa lain lereng Gunung Sunda Purba terdapat di sebelah utara Bandung, yaitu di sebelah timur Sungai Cikapundung sampai ke Gunung Malayang (Blok Pulasari). Sisa lainnya ditemukan di sebelah timur laut Lembang, tepatnya di Bukit Putri. Gunung Sunda Purba sendiri, dari hasil rekonstruksi yang dilakukan oleh beberapa ahli geologi, memiliki ketinggian sekitar 3.000 MDL. Terbentuknya Gunung Sunda Purba diperkirakan pada dua juta tahun yang lalu melalui aktivitas vulkanik setelah melalui beragam aktivitas tektonik.

Sekitar 11.000 tahun yang lalu, Gunung Sunda Purba runtuh dan membentuk kaldera—kawah berukuran besar dengan diameter 5-10 km—dan dari tengahnya lahirlah Gunung Tangkuban Parahu, yang dikemudian hari disebut sebagai Erupsi A dari Tangkuban Parahu. Bersamaan dengan terjadinya patahan Lembang sampai ke Gunung Malayang. Peristiwa inilah yang memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung.

Kembali ke perjalanan kami. Dari informasi yang kami dapat dari seorang kawan yang pernah mendaki Gunung Burangrang, kami disarankan untuk melewati Pos Komando. Ada dua rute perjalanan yang dapat ditempuh, yaitu rute dari Legok Haji dan dari Pos Komando. Legok Haji, menurut berita yang kami dapatkan, sering ditemui ranjau darat karena masuk dalam area latihan perang KOPASUS sedangkan Pos Komando yang berada di dalam kawasan Perhutani merupakan pos pusat pelatihan militer KOPASUS. Jika melewati Pos Komando, izin yang kami harus dapatkan pertama dari Pos Perhutani, yang kedua dari Pos Komando. Sebelum mencapai Pos Perhutani, kami beristirahat sejenak di Indomaret dekat Sekolah Polisi Wanita. Sembari beristirahat meregangkan otot, Meki mengobrol dengan tukang ojek yang sedang mangkal. Dari sana diperoleh bahwa Pos Komando sulit ditembus perizinannya untuk mendaki, tukang ojek tersebut menyarankan untuk lewat Legok Haji. Isu bahwa di sekitaran Legok Haji banyak ranjau memang benar ranjau darat, namun dalam artian berbeda, bukan ranjau senjata tapi ranjau darat manusia. Setelah berdiskusi, kami bulatkan hati untuk melewati Pos Komando karena sedari awal rencananya kami akan parkir mobil di Pos Perhutani.

Kami pun melanjutkan perjalanan ke Pos Perhutani untuk kemudian lanjut ke Pos Komando. Sesampainya di Pos Perhutani, kami ternyata tidak diizinkan masuk dengan alasan bulan lalu terjadi kebakaran hutan di daerah sekitar Situ Lembang dan masih dalam tahap pemulihan. Kami pun kembali dengan berat hati. Sebelumnya, kami foto-foto dulu, karena sebenarnya kami punya rencana kedua, yaitu mendaki Gunung Malayang, sisi lain sisa Gunung Sunda Purba. 

Pose dulu di depan Pos Perhutani. 
Walaupun diusir, tetap pasang wajah ceria. Namanya juga perjalanan menikmati perjalanan.
(Dok. Enny)

Dalam perjalanan, disusunlah strategi baru. Rasanya sayang betul kami sudah sampai di kaki gunung Burangrang namun tak dapat mendakinya. Jiwa petualangan kami menggelegak, tak semudah itu menyurutkan niat kami untuk mendaki gunung Burangrang. Beruntung saya pergi bersama orang-orang yang memiliki kenekatan yang sama, dengan kerandoman yang lebih terstruktur. Kami harus mendaki gunung Burangrang dan melihat langsung patahan sisa Gunung Sunda Purba. :)

Gembox pun mengusulkan untuk tetap naik dengan jalur belakang, yaitu Legok Haji. Meki pun segera diutus untuk mencari tukang ojek yang tadi kami temui di depan Indomaret. Tak berselang lama, Meki kembali dengan wajah berseri. Kami bisa naik ke gunung Burangrang lewat jalur Legok Haji dengan di antar Kang Deni, tukang ojek yang tadi kami temui. Mobil kami titipkan di rumah Kang Cepi, seorang Bintara di Pos Pengalengan, teman Kang Deni. Rumah Kang Cepi berada di dusun Pasir Kuning.

Setelah persiapan dan pemanasan secukupnya, tepat pkl. 13.30 WIB kami berangkat mendaki gunung Burangrang. Melewati rumah dan ladang warga, jalur desa yang kami lewati membingungkan untuk dilalui karena ketiadaan informasi. Setelah bertanya beberapa kali ke warga sekitar kami akhirnya menemukan area yang disebut sebagai Legok Haji. Kami kembali mengalami kesulitan menentukan arah selanjutnya, beruntung Gembox membawa denah peta GPS sehingga kami bisa mencari ketepatan lokasi kami lewat telpon pintar dengan dukungan sinyal dan pengetahuan geografi zaman di bangku sekolah.


Selepas Legok Haji, jalur yang kami tempuh semakin berat. Ketika rehat sejenak, Meki menemukan lembah batu patahan sisa letusan Gunung Sunda Purba. Jika dilihat dari jaraknya, puncak Burangrang tidaklah terlampau jauh dari Legok Haji, namun medan yang kami tempuh tidaklah mudah, bisa dikatakan ini pendakian yang sebenar-benarnya mendaki. Tak jarang jidat bersua dengan lutut. Beberapa kali kami mendapati track 70⁰-80⁰ atau jalan sempit untuk satu orang dengan sebelah kiri jurang dan sebelah kanan tebing. 

Tracking 80⁰ dengan kontur tanah gembur rawan longsor.
(Dok. Enny)
 Di tengah perjalanan, mendung menggantung semakin mendekat. Kami putuskan untuk membagi menjadi dua kelompok kecil. Meki dan Gembox jalan terlebih dahulu untuk mencari area lapang untuk kami membangun tenda, rencana awal kami akan membangun tenda di Puncak Meong dekat dengan Puncak Burangrang, sedangkan saya dan Enny berjalan di belakang karena kecepatan kami yang tidak bisa menyamai kecepatan Meki dan Gembox

Rintik-rintik hujan mulai membasahi kami. Tak sampai satu jam perjalanan saya mendapati Gembox dan Meki sedang membangun tenda di tanah sempit yang tak bisa dikatakan lapang, hanya cukup untuk satu tenda kapasitas empat orang. Hujan yang semakin deras mengurungkan niat Gembox dan Meki untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak Meong dan segera mendirikan tenda. Setelah flysheet berhasil dipasang, giliran kami kaum Hawa yang bekerja. Saya memasak air panas untuk menyeduh minuman hangat dan mie instan. Waktu masih menunjukkan pkl. 16.00 ketika hujan turun semakin deras. Ternyata tenda yang kami bawa cukup lapang dan hangat untuk kami berempat. Setelah makan dan minum, kami melepas lelah dengan berbincang-bincang ringan. Tak terasa kami satu persatu jatuh tertidur. 

Pkl. 21.00 kami semua terbangun. Saya segera membereskan nesting dan kompor yang tadi sehabis masak lupa saya bereskan. Hujan berangsur reda. Suara garengpung bersahutan di kejauhan mulai menyemarakkan malam. Lamat-lamat kami dengar juga suara tembakan beruntun. Tim KOPASUS tengah berlatih perang. Kami lanjutkan malam dengan bercanda, mengingat kembali perjalanan kami hari itu diselingi dengan memantau GPS untuk menentukan perjalanan kami esok hari untuk mencapai puncak Burangrang. 

Puji syukur dengan adanya GPS kami tidak tersesat. ;D
(Dok. Enny)

Kami tetapkan untuk berangkat pkl. 04.30 WIB esok hari menyambut subuh di Puncak Burangrang. Pkl. 00.00 WIB kami kembali ke posisi kami masing-masing untuk beristirahat. Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa waktu sudah menunjukkan pkl. 

 

 


  




Nikmat Hujan dalam Perjalanan

Perjalanan, menurut saya, tak melulu tentang tujuannya, walaupun itu penting juga. Perjalanan, bagi saya, merupakan salah satu cara untuk berkontemplasi, berbincang dengan diri sendiri, menyadari setiap langkah yang dipijak, menikmati, mensyukuri anugerah alam. 

***

Berawal dari postingan seseorang di Instagram saat berada di puncak Gunung Batu. Kak Putri mengajak saya ke sana. Kebetulan, letaknya tak jauh dari Jakarta, tepatnya di Jonggol, Kab. Bogor, sehingga tracking sehari pergi-pulang pun bisa. Sekilas tentang Gunung Batu, gunung ini memiliki ketinggian 875 MDPL, tidak terlalu tinggi memang, namun memiliki medan yang cukup berat dengan bentuk punggungan hampir 30 derajat, dengan medan puncak memiliki sudut hampir 70 derajat, curam, jika tak hati-hati memijak.
 
Sabtu, 12 Desember 2015 pkl. 08.30 WIB, kami berdua berangkat bermoda bus APTB arah Cileungsi dari depan Mall Semanggi. Sesampainya di bawah flyover Cileungsi, kami pindah menggunakan mini bus arah ke arah Cariu. Berdasar catatan yang kami baca dari refernsi beberapa orang di dunia maya, sesampai di Cariu nanti kami pindah lagi menggunakan angkot ke arah Mengker. Dalam perjalanan, saat bis menunggu penumpang, saya berbincang dengan pak sopir. Awalnya pak sopir menanyakan ke mana kami akan pergi (mungkin karena melihat penampilan kami yang "ala2 orang mau berpetualang"), saya pun mengutarakan maksud tujuan kami, ingin mendaki gunung Batu. Pak sopir pun mengiyakan akan mengantar kami sampai di tempat terdekat untuk naik Gunung Batu. Ternyata tidak seperti petunjuk yang kami dapat dari blog, kami diturunkan di pertigaan jalan dengan petunjuk jalan ke arah gunung Batu (yang baru dikemudian hari saya tahu desa itu bernama Dayeuh, setelah membaca blog Kak Putri). Kami sengaja tidak langsung menumpang ojek di pertigaan karena kami pikir, kami diturunkan di pertigaan Mengker. Kami terus berjalan dengan harapan di depan akan ada mobil bak terbuka yang bisa kami tumpangi seperti referensi di blog. Kami pun berjalan melewati pematang sawah. Cukup jauh kami berjalan, tak juga tampak adanya pangkalan mobil bak terbuka. Maka dengan kesepakatan spontan, kami akan memberhentikan mobil bak terbuka yang lewat. Beberapa kali kami luput menyetop mobil karena hal-hal konyol. Akhirnya ada juga mobil bak terbuka yang mau kami tumpangi. Sambil menikmati hembusan angin dan pemandangan yang indah, kami menertawakan kekonyolan kami. Termyata perjalanan masih sangat jauh. Dalam hati saya bersyukur ada sopir baik hati yang mau ditumpangi dua orang tak dikenal seperti kami ini. Hehehehehe... (btw, istri pak sopir padahal ga setuju kami menumpang :D).. Mobil yang kami tumpangi berhenti di suatu tempat. Sopir mengatakan kepada kami untuk berjalan terus saja. Sebagai ucapan terima kasih, kami beri bapak sopirnya Rp50.000 untuk dua orang.

Mengikuti saran pak sopir, sambil mengingat-ingat seharusnya kami menemukan SD Mengker, kami terus berjalan. Sepanjang perjalanan kami isi dengan obrolan ringan diselingi tawa. Hujan pun menyapa kami malu-malu. Awalnya rintik perlahan, lama-lama menderas dan memaksa kami mengeluarkan "peralatan perang" berupa jas hujan dan payung. Semakin lama hujan semakin deras mengguyur kami. Bukannya berteduh, kami malah asik bermain hujan. Memori masa kecil tanpa malu-malu menyeruak, membangkitkan semangat petualangan dan permainan. Bukankah pada dasarnya manusia adalah Homo Ludens?

Sambil terus berjalan dan bermain hujan, kami juga memasang "alarm" jika ada mobil bak terbuka yang mau kami tumpangi. Dan ada juga sopir mobil yang mau kami tumpangi. Cukup membantu memotong jarak yang ternyata masih jauh sekali. Tiba-tiba sopir memberhentikan mobilnya dan memberi isyarat kami untuk turun. Kami pun bergegas turun sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Ternyata bapaknya mau pulang dan baiknya dia menurunkan kami di pos kampling, jadi kami bisa berteduh sejenak sambil merapikan tas yang kehujanan.

Istirahat beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan kami. Hujan sudah mulai mereda, namun masih cukup membuat celana saya basah kuyup. Sambil terus berjalan, kami mengomentari berbagai hal dari bentuk air yang memiliki efek ilusi yang indah, warna air yang seperti teh chai, hingga kebingungan kami mencari pintu masuk ke arah Gunung Batu. Ternyata di daerah lereng Gunung Batu, nama kampungnya Gunung Batu 1, 2, dan 3. Kami terus berjalan mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh penduduk lokal. Dan... akhirnya... pintu masuk Gunung Batu muncul juga