Sabtu, 19 Desember 2015

Burangrang Ku Sayang


... ketika segalanya telah terlambat, ketika janji telah terucap, Dayang Sumbi segera mencari akal. Ia tak mungkin menikahi anaknya sendiri. Dibuatnya prasyarat yang sungguh tak masuk akal. Namun cinta telah membutakan segala, Sangkuriang menyanggupi prasyarat Dayang Sumbi. Dibuatnya perahu sesuai permintaan sang kekasih. Dayang Sumbi memeras otak, dicarinya akal lain agar gagallah segala usaha Sangkuriang. Dipukullah lesung dalam alu guna memanggil fajar. Ayam jago berkokok membangunkan Sang Surya. Gagallah segala upaya Sangkuriang. Maka, ditendangnyalah perahu yang sudah hampir jadi itu dan ditinggalkannya batang-batang pohon yang akan digunakannya untuk membuat perahu. Perahu yang terbalik itu menjadi Gunung Tangkuban Perahu, sedangkan tumpukan batang-batang pohon bakal perahu dipercaya menjadi Gunung Burangrang. 
(dari Legenda Sangkuriang oleh Masyarakat Sunda).

***

Setelah sebelumnya berencana untuk naik ke Gunung Gede dan akhirnya batal karena berbagai hal, saya memutuskan untuk ikut bergabung dengan Enny, teman saya di kelas menulis Salihara yang juga senang naik gunung. Kami putuskan untuk berangkat berempat, saya, Enny, Meki (Paulus Sumoaji Wibowo), dan Gembox (Ignasius Wisnu Dwi Cahyo). Kami putuskan berangkat sabtu dini hari dengan malam sebelumnya menginap di rumah Gembox, di daerah Cibinong. 
Jumat malam, 20 November 2015, kami bertiga janji temu di stasiun Tebet untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke stasiun Bojong Gede. Waktu sudah menunjukkan tengah malam saat kami sampai di rumah Gembox. Setelah beberes dan ngobrol ngalor-ngidul, kami akhirnya beristirahat. Tepat pkl. 05.00 WIB kami berangkat menuju Bandung Barat, letak Gunung Burangrang berada.

Sebelum menapak Gunung Burangrang, saya mencari informasi dan kajian literasi untuk mengenal lebih dekat gunung yang akan saya pijak nantinya. Rujukan tentang sisa Gunung Sunda Purba saya ambil dari hasil penelitian van Bemmelen (1949). Gunung Burangrang dan sekitar Situ Lembang ditengarai sebagai kerucut sampingan dari Gunung Sunda Purba. Sisa lain lereng Gunung Sunda Purba terdapat di sebelah utara Bandung, yaitu di sebelah timur Sungai Cikapundung sampai ke Gunung Malayang (Blok Pulasari). Sisa lainnya ditemukan di sebelah timur laut Lembang, tepatnya di Bukit Putri. Gunung Sunda Purba sendiri, dari hasil rekonstruksi yang dilakukan oleh beberapa ahli geologi, memiliki ketinggian sekitar 3.000 MDL. Terbentuknya Gunung Sunda Purba diperkirakan pada dua juta tahun yang lalu melalui aktivitas vulkanik setelah melalui beragam aktivitas tektonik.

Sekitar 11.000 tahun yang lalu, Gunung Sunda Purba runtuh dan membentuk kaldera—kawah berukuran besar dengan diameter 5-10 km—dan dari tengahnya lahirlah Gunung Tangkuban Parahu, yang dikemudian hari disebut sebagai Erupsi A dari Tangkuban Parahu. Bersamaan dengan terjadinya patahan Lembang sampai ke Gunung Malayang. Peristiwa inilah yang memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung.

Kembali ke perjalanan kami. Dari informasi yang kami dapat dari seorang kawan yang pernah mendaki Gunung Burangrang, kami disarankan untuk melewati Pos Komando. Ada dua rute perjalanan yang dapat ditempuh, yaitu rute dari Legok Haji dan dari Pos Komando. Legok Haji, menurut berita yang kami dapatkan, sering ditemui ranjau darat karena masuk dalam area latihan perang KOPASUS sedangkan Pos Komando yang berada di dalam kawasan Perhutani merupakan pos pusat pelatihan militer KOPASUS. Jika melewati Pos Komando, izin yang kami harus dapatkan pertama dari Pos Perhutani, yang kedua dari Pos Komando. Sebelum mencapai Pos Perhutani, kami beristirahat sejenak di Indomaret dekat Sekolah Polisi Wanita. Sembari beristirahat meregangkan otot, Meki mengobrol dengan tukang ojek yang sedang mangkal. Dari sana diperoleh bahwa Pos Komando sulit ditembus perizinannya untuk mendaki, tukang ojek tersebut menyarankan untuk lewat Legok Haji. Isu bahwa di sekitaran Legok Haji banyak ranjau memang benar ranjau darat, namun dalam artian berbeda, bukan ranjau senjata tapi ranjau darat manusia. Setelah berdiskusi, kami bulatkan hati untuk melewati Pos Komando karena sedari awal rencananya kami akan parkir mobil di Pos Perhutani.

Kami pun melanjutkan perjalanan ke Pos Perhutani untuk kemudian lanjut ke Pos Komando. Sesampainya di Pos Perhutani, kami ternyata tidak diizinkan masuk dengan alasan bulan lalu terjadi kebakaran hutan di daerah sekitar Situ Lembang dan masih dalam tahap pemulihan. Kami pun kembali dengan berat hati. Sebelumnya, kami foto-foto dulu, karena sebenarnya kami punya rencana kedua, yaitu mendaki Gunung Malayang, sisi lain sisa Gunung Sunda Purba. 

Pose dulu di depan Pos Perhutani. 
Walaupun diusir, tetap pasang wajah ceria. Namanya juga perjalanan menikmati perjalanan.
(Dok. Enny)

Dalam perjalanan, disusunlah strategi baru. Rasanya sayang betul kami sudah sampai di kaki gunung Burangrang namun tak dapat mendakinya. Jiwa petualangan kami menggelegak, tak semudah itu menyurutkan niat kami untuk mendaki gunung Burangrang. Beruntung saya pergi bersama orang-orang yang memiliki kenekatan yang sama, dengan kerandoman yang lebih terstruktur. Kami harus mendaki gunung Burangrang dan melihat langsung patahan sisa Gunung Sunda Purba. :)

Gembox pun mengusulkan untuk tetap naik dengan jalur belakang, yaitu Legok Haji. Meki pun segera diutus untuk mencari tukang ojek yang tadi kami temui di depan Indomaret. Tak berselang lama, Meki kembali dengan wajah berseri. Kami bisa naik ke gunung Burangrang lewat jalur Legok Haji dengan di antar Kang Deni, tukang ojek yang tadi kami temui. Mobil kami titipkan di rumah Kang Cepi, seorang Bintara di Pos Pengalengan, teman Kang Deni. Rumah Kang Cepi berada di dusun Pasir Kuning.

Setelah persiapan dan pemanasan secukupnya, tepat pkl. 13.30 WIB kami berangkat mendaki gunung Burangrang. Melewati rumah dan ladang warga, jalur desa yang kami lewati membingungkan untuk dilalui karena ketiadaan informasi. Setelah bertanya beberapa kali ke warga sekitar kami akhirnya menemukan area yang disebut sebagai Legok Haji. Kami kembali mengalami kesulitan menentukan arah selanjutnya, beruntung Gembox membawa denah peta GPS sehingga kami bisa mencari ketepatan lokasi kami lewat telpon pintar dengan dukungan sinyal dan pengetahuan geografi zaman di bangku sekolah.


Selepas Legok Haji, jalur yang kami tempuh semakin berat. Ketika rehat sejenak, Meki menemukan lembah batu patahan sisa letusan Gunung Sunda Purba. Jika dilihat dari jaraknya, puncak Burangrang tidaklah terlampau jauh dari Legok Haji, namun medan yang kami tempuh tidaklah mudah, bisa dikatakan ini pendakian yang sebenar-benarnya mendaki. Tak jarang jidat bersua dengan lutut. Beberapa kali kami mendapati track 70⁰-80⁰ atau jalan sempit untuk satu orang dengan sebelah kiri jurang dan sebelah kanan tebing. 

Tracking 80⁰ dengan kontur tanah gembur rawan longsor.
(Dok. Enny)
 Di tengah perjalanan, mendung menggantung semakin mendekat. Kami putuskan untuk membagi menjadi dua kelompok kecil. Meki dan Gembox jalan terlebih dahulu untuk mencari area lapang untuk kami membangun tenda, rencana awal kami akan membangun tenda di Puncak Meong dekat dengan Puncak Burangrang, sedangkan saya dan Enny berjalan di belakang karena kecepatan kami yang tidak bisa menyamai kecepatan Meki dan Gembox

Rintik-rintik hujan mulai membasahi kami. Tak sampai satu jam perjalanan saya mendapati Gembox dan Meki sedang membangun tenda di tanah sempit yang tak bisa dikatakan lapang, hanya cukup untuk satu tenda kapasitas empat orang. Hujan yang semakin deras mengurungkan niat Gembox dan Meki untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak Meong dan segera mendirikan tenda. Setelah flysheet berhasil dipasang, giliran kami kaum Hawa yang bekerja. Saya memasak air panas untuk menyeduh minuman hangat dan mie instan. Waktu masih menunjukkan pkl. 16.00 ketika hujan turun semakin deras. Ternyata tenda yang kami bawa cukup lapang dan hangat untuk kami berempat. Setelah makan dan minum, kami melepas lelah dengan berbincang-bincang ringan. Tak terasa kami satu persatu jatuh tertidur. 

Pkl. 21.00 kami semua terbangun. Saya segera membereskan nesting dan kompor yang tadi sehabis masak lupa saya bereskan. Hujan berangsur reda. Suara garengpung bersahutan di kejauhan mulai menyemarakkan malam. Lamat-lamat kami dengar juga suara tembakan beruntun. Tim KOPASUS tengah berlatih perang. Kami lanjutkan malam dengan bercanda, mengingat kembali perjalanan kami hari itu diselingi dengan memantau GPS untuk menentukan perjalanan kami esok hari untuk mencapai puncak Burangrang. 

Puji syukur dengan adanya GPS kami tidak tersesat. ;D
(Dok. Enny)

Kami tetapkan untuk berangkat pkl. 04.30 WIB esok hari menyambut subuh di Puncak Burangrang. Pkl. 00.00 WIB kami kembali ke posisi kami masing-masing untuk beristirahat. Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa waktu sudah menunjukkan pkl. 

 

 


  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar