Rabu, 13 Maret 2013

Obrolan Kloset


Hari ini aku bertemu lagi dengannya, dan seperti biasa, kami hanya saling bertatapan sejenak untuk kemudian saling melemparkan senyum ke cermin di depan kami.

Aku selalu bertemu dengannya setiap hari kerja di toilet yang sama, di waktu-waktu tertentu, yaitu pkl. 07.15, pkl. 11.45, dan pkl. 16.00, di toilet wanita lantai 3 tepatnya. Setiap hari, sebelum aku mulai tenggelam dalam rutinitas pekerjaanku, aku akan memasuki toilet tepat pkl. 07.15, 15 menit sebelum jam kantor dimulai. Di dalam toilet pertama kali yang aku lakukan adalah membuka kloset, menumpahkan segala kekesalanku, segala emosiku dalam derasnya guyuran shower dan kloset untuk kemudian menutup klosetnya, menghapus air mataku dengan tissu, dan keluar dengan tersenyum. Kemudian aku akan menatap cermin, memoleskan bedak, merapikan alis mata, menggunakan eye-shadow, menjepit bulu mataku dan memulasnya dengan eye-linier, kemudian mengusapkan sedikit blush-on di daerah T wajahku, dan terakhir, hal yang paling aku suka diakhir rutinitas pagiku, mengusapkan lipstik merah darah di bibirku. Aku tersenyum cerah. Topengku untuk 9 jam kedepan telah siap.

Kadang gue bosen, tapi juga kangen kalo gak liat dia di toilet ini. Beberapa kali tanpa kehadirannya, gue ngerasa dia sudah bunuh diri, untuk kemudian terkaget-kaget—tapi juga lega—ngeliat dia kembali lagi di toilet ini. Gue gak pernah secara sengaja datang bersamaan dengan dia di toilet ini. Faktor kesehatan dan faktor kenyamanan saja yang mempertemukan kami—yang awalnya secara tidak sengaja menjadi kebiasaan—di toilet ini. Gue harus “panggilan alam” antara pkl 07.00-08.00. Jam biologis gue harus diubah total sejak gue sakit parah 6 bulan yang lalu. “Ritual penting” harus dilakukan pkl. 07.00-09.00 karena saat itulah usus besar bekerja maksimal. Pkl. 11.45, sebelum keluar untuk makan siang, gue harus buang air kecil lagi, sebagai penanda ginjal ataupun salurannya benar, ada kista di ginjal gue yang terus membesar dan itu membuat gue disiplin dalam hal minum dan buang air kecil. Manusia membutuhkan minimal 3 liter air setiap hari dan itu pun harus dikeluarkan secara berkala agar tidak terjadi infeksi, gue terlambat mencegahnya infeksi di saluran kencing gue. Begitu pula pkl. 16.00, setengah jam sebelum jam pulang berdentang, gue akan “panggilan alam” lagi. Sehat ya hidup gue, sekarang.

Aku senang menggunakan toilet lantai 3. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah kehadirannya. Dia sudah aku anggap sebagai sahabatku, sahabat yang mendengar segala keluh kesahku tanpa sedikit pun berkomentar ataupun menatapku dengan pandangan “aku-adalah-mahkluk-paling-mengenaskan-di-bumi”. Ada senangnya juga mempunyai sahabat yang tidak saling mengenal seperti ini. Kemudian karena posisiku di unit lantai 5, tak ada salahnya jika aku sedikit berolah raga demi mendapatkan privasi. Walaupun toilet lantai 3 terkenal paling banyak penggunanya, entah mengapa disaat-saat kunjunganku kesana selalu saja sepi. Itu hal yang menyenangkan bagiku yang membutuhkan sedikit privasi. Yah, pada intinya aku merasa nyaman di toilet lantai 3.

Gue pilih toilet lantai 3 karena dua faktor. Yang pertama karena dekat dengan unit gue, jadi gue gak usah repot naik-turun lift atau ngesot kalo lift—yang memang sangat sering rusak itu—mati dan gue harus naik-turun menggunakan tangga darurat. Yang kedua gue ngerasa toilet lantai 3 paling bersih di antara toilet-toilet yang lain. Secara paling banyak penggunanya, jadi paling sering dibersihkan. Oh ya, pesen nyokap, kloset duduk harus dibuka setelah digunakan. Biar kumannya kagak numpuk trus kena ke pengguna berikutnya, namanya juga kloset bersama. Gue ikut aja pesen nyokap, dari pada tar dikutuk jadi kodok. Ah ya, gue baru ingat, seharusnya tiga faktor. Faktor ketiga adalah kebutuhan gue buat lihat dia masih memiliki sedikit semangat hidup dan sedikit tersenyum menyemangatinya.

Pertama kali aku bertatapan dengannya di cermin, aku tahu dia bisa menjadi sahabatku. Tanpa berkata apapun—alih-alih melemparkan tatapan “aku-adalah-mahkluk-paling-menyedihkan-di-bumi—dia hanya tersenyum. Entah mengapa pertama kali melihat senyumnya itu, sedikit demi sedikit semangat untuk hidupku bangkit kembali.

Pertama kali gue ngeliat dia, gue bingung harus gimana bersikap. Gue secara gak sengaja denger obrolannya di telpon, di dalam toilet, bersama suaminya, dan secara tidak sengaja pula kami keluar bersamaan. Gue hanya bisa tersenyum padanya lewat cermin di depan kami yang mempertemukan tatapan kami. Gue gak kepikiran apa yang mesti gue lakukan diposisi ini. Senyum gue refleks.

“Mas, tolong jangan telpon kalo pas jam kantor ya…”
“Ya ampun, mas, aku itu di sini beneran kerja”
“Tadi lagi sibuk banget, mas.”
“Besok kan hari rabu, deadline ketat, aku harus menyelesaikan beberapa pekerjaan dan target sekaligus”
“Nggak mungkin dong, Mas”
“Ya ampun, Mas… Aku harus gimana lagi biar Mas bisa percaya sama aku”
Aku tidak tahan lagi untuk menangis, setiap hari, diwaktu dan tempat yang sama, aku didera kecurigaan yang sama.
“Aku beneran kerja, Mas”
“Aku beneran kerja sesuai jadwal yang semalam aku berikan ke Mas”
“Iya”
“Iya”
“Iya”
“Iya”
“Mas juga ya…”
“Ya, sampai ketemu sore nanti”
*klik

Nah, dialog via telpon ini yang gue denger setiap hari, pkl. 11.45, tepat sebelum jam makan siang. Gue gak pernah mau tahu dan ataupun penasaran dengan permasalahan mereka. Suaranya seperti alunan musik yang sudah sering gue dengar sehingga ketika tidak mendengarnya, gue akan merasa kehilangan.

Aku baru bisa menghubungi suamiku disaat toilet hanya ada kami berdua, di bilik kami masing-masing, dengan keheningan yang suram.

“Eh, hey, ini siapa?”
“Oh… ya… ya… Yang semalam? Yang mana ya?”
“Hah? Yang semalem tidur ama gue? Emang lu siapa?”
“Oh… ya… Sorry, sorry, gue suka lupa nama. Hehehe… Maaf ya… Permainan lu asik kok semalem”
“Ya… gitu aja marah, udah kayak emak-emak keilangan kutang ah. Gak seru”
“Lah, elunya yang mulai duluan”
“Tar malem? Gue udah ada janji”
“Gue gak pernah selingkuh. Siapa juga nganggep elu pacar gue. Ke-Ge Er-an aja elunya”
“Udah ah, elu ngeganggu konsentrasi gue aja”
“Kagak, gue kagak lagi meeting penting. Ada yang lebih penting dari itu”
“Panggilan alam”
*klik

Entah pria mana lagi yang dikecewakannya, aku tidak mau tahu. Dia tidak pernah keluar toilet dengan wajah sedih atau kecewa. Wajahnya selalu tenang, terlalu tenang. Terkadang ada senyum kecil mengambang di wajahnya. Wajah yang mendamaikan sekaligus menjadi penyemangatku.

Hidup gue baru benar-benar teratur 6 bulan terakhir, setelah berbagai vonis dokter, akhirnya menyadarkan kualitas hidup gue yang acakadut. Gue sedang menata hidup gue lagi, tapi sulit. Gue ngerasa sendiri. Gak ada yang memantau hidup gue. Gue terlalu bebas.

“Iya, mas”
“Ini aku lagi di toilet, kencing”
“Iya… habis ini aku minum yang banyak”
“Sudah, aku baru saja selesai makan siang”
“Sendiri”
“Benar, mas”
“Aku makan bekalku sendiri, di kubikelku”
“Tidak ada siapa-siapa”
“Iya, mas… aku makan siang tepat jam 12”
“Sendiri”
“Semua orang seruangan pergi keluar makan siang”
“OB kan juga makan siang. Tidak ada siapa-siapa”
“Bener”
“Aku cuci wadah makanku sendiri. Bukan OB”
“Bener, mas”
“Aduh, mas… beneran aku makan sendiri. Jelas tidak ada saksi. Kan aku sendirian…”
*klik

Nah, kalo yang itu tadi obrolan rutin sebelum pulang, tepatnya obrolan pkl. 16.00. Cukup lumayan panjang, karena akan berakhir di pkl. 16.20, dia hanya punya sisa waktu 10 menit sebelum waktu pulang. Biasanya 10 menit akan digunakan untuk menghapus semua sisa riasan wajahnya perlahan-lahan, seakan dia tidak rela melepaskan topengnya.

Saatnya aku harus kembali kekehidupanku. Kehidupan yang membosankan. Kehidupan yang mencekik. Kehidupan yang bukan milikku sepenuhnya.

“Gue malam ini sibuk”
“Gue lagi males kemana-mana”
“Gue mau tidur aja sambil nonton tivi”
“Hey, terserah gue dong, waktu, waktu gue”
“I need my time ajah”
“See you on another time”
*klik

Kehidupannya begitu bebas. Dia begitu nyaman dengan dirinya.

Hidupnya terisi oleh lelaki yang benar-benar mencintainya, menyanyanginya.

Kehidupannya begitu menyenangkan. Bebas seperti angin.

Hidupnya teratur dengan baik, dengan seseorang yang selalu ada di sampingnya, mengingatkannya.

Kehidupan sepertinya yang aku inginkan saat ini.

Andaikan gue punya seseorang yang benar-benar mencintai gue, perhatian ke gue, seperti suaminya...




Pengembangan dari naskah film pendek, berjudul sama, yang belum jadi diproduksi.
Aster, 13 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar